“Itu kayak tabung praktek kimia deh” komentar suami saat saya buka bungkus sedotan kaca yang saya beli dari Amazon.
Mungkin saya salah pilih produk sedotan, padahal ada juga sedotan yang terbuat dari stainless steel yang bentuknya terlihat lebih manis dan ramping.
Tapi yang mau saya bahas di sini bukan sedotan kaca vs. stainless steel, melainkan pilihan untuk mengganti sedotan sekali pakai dengan sedotan yang dapat digunakan kembali (reuseable).
Saya paling suka minum smoothies atau minuman dingin pakai sedotan. Selama ini saya suka beli sedotan plastik dalam jumlah besar. Satu kantong isi 50 buah, harganya cuma C$5 (eq Rp 50.000). Warna-warni, lumayan bisa bikin anak jadi ikut semangat minum smoothies.
Tapi ternyata mengajari anak suka smoothies gak cukup: saya juga ingin mengajari dia untuk gak banyak buang sampah (dia suka banget buang sampah ke tempat sampah). Dari situlah saya terinspirasi beli sedotan kaca. Saya beli di Amazon.ca seharga sekitar C$20 (eq Rp 200 ribu) dapat 5 buah sedotan kaca plus sikat pembersihnya. Saya sodorin deh smoothies pakai sedotan kaca (udah dicuci dulu pastinya) ke anak kecil, dan tetap doyan.
Kesimpulan: warna sedotan gak berpengaruh terhadap minat anak minum smoothies. Tapi mengganti sedotan plastik ke sedotan kaca ngaruh banget buat kami sekeluarga. Saya tidak lagi “memproduksi” sampah sedotan. Habis pakai, tinggal cuci pakat sikat pembersih, gak sampai semenit, voila! siap dipakai lagi.
Kalau dihitung-hitung dari harganya, mungkin kelihatannya mahal ya. Dengan modal C$20, sebetulnya ssaya bisa dapat 4 x 50 sedotan plastik, atau untuk 200 kali nyeruput. Sementara saya agak “taruhan” beli 5 sedotan kaca bisa pecah kapan aja kalau saya selebor (Ya makanya jangan selebor!) tapi saya juga ambil peluang pemakaian tidak terbatas.
200 kali vs. tidak terbatas
Pilih mana?
Tapi terlepas dari itung-itungan harga, yang terpenting saya mengurangi jejak sampah yang keluar dari rumah tangga saya. Saya tidak pernah tahu sampah yang saya “produksi” akan bermuara di mana, yang pasti sampah plastik akan eksis memenuhi lahan di bumi.
So far saya menikmati memakai sedotan kaca reusable… and I think you should try it, too!
Sejak satu bulan terakhir, timelineFacebook dan Youtube saya dipenuhi dengan senyuman Marie Kondo, mbak-mbak asal Jepang yang mejadi pahlawan bagi kebiasaan buruk bule-bule Barat yang doyan numpuk barang. Mulai dari video dan artikel pendek tentang tips dan trik decluttering mbak Kondo, sampai pro dan kontra tentang konsepnya.
Pertama saya “kenal” mbak ini dan tayangan Netflix-nya yang bergaya ala-ala savior from other planet, jujur saya sih geli. Geli karena setelah merasakan hidup di negara Barat, saya setuju memang betul manusianya doyan banget nyampah.
Sampah bikin bangsa maju.
Ya karena sampah itu ekonomi. You buy things, you move the economy. Dan yang namanya “things” itu mulai dari packaging, unused items, out of trends items, occasional / celebration items, broken items, ujung-ujungnya berakhir di tempat sampah.
Bagi saya, decluttering itu butuh mindset. Bukan berarti ditolong mbak Marie Kondo bebersih terus masalah selesai. Ada pola pikir yang harus ditanamkan, khususnya dalam melihat fungsi barang (kalau kata Kondo harus spark joy), dan tentunya memahami kebutuhan dan keinginan. As I always recall, harus punya kendali atas diri kita sendiri.
Jadi saya mau berbagi di tulisan ini, 3 mindset yang perlu dimiliki untuk sukses decluttering. Saya berasumsi semua yang membaca ini pasti punya tempat tinggal, entah itu di kos-kosan, apartemen, rumah, sewa maupun milik.
1. Volume barang bertambah di rumah itu sudah pasti, jadi kendalikan lajunya!
Dengan berjalannya waktu, pasti deh volume barang yang kita simpan di tempat tinggal bertambah. Penyebahnya ada 2, pertama karena mentang-mentang punya tempat menyimpan (tempat tinggal), kita bisa meletakkan barang apapun. “Ah lacinya masih muat,” atau “Lumayan nih beli piring cantik siapa tau kapan-kapan ada tamu bisa buat ngejamu.” Kedua adalah simply godaan konsumerisme. “Duh ada lipstik buy one get one, kapan lagi ada deal kayak begini” (padahal sudah punya 5 lipstik di rumah).
Nah yang kayak begini nih jadi sumber cluttering: numpuk stok barang di rumah. Sementara barang lama masih disimpan (dan terpakai), kita sudah menambah stok barang baru.
Sebetulnya tidak ada masalah sih, selama kita tahu semuanya tepat guna, tapi masalah seringkali tidak demikian.
Saya juga punya masalah seperti ini. Tiap belanja di Sephora, saya selalu minta sample produk gratisan, karena ya mental “kapan lagi dapet deal begini.” Tiap belanja dapet 3 sample. Tapi karena produk tersebut bukan yang saya butuhkan, melainkan just because I feel good about getting free stuff, akhirnya jadi cluttering. Dipake males, dibuang sayang. Terus aku kudu piye? 😫
Clutter: ngumpulin sample product sebanyak ini, enggak kepake tapi dibuang sayang
Solusinya adalah kendalikan laju pertambahan barang. Barang bertambah itu pasti, tapi mau bertambah berapa kita yah kendalikan.
Caranya gimana?
Setiap kali berbelanja dan butuh / ingin membeli sesuatu (saya tidak akan judge kebutuhan dan keinginan), selalu ingat-ingat barang sejenis yang tersimpan di rumah, dan jawab pertanyaan ini:
“Ada yang bisa dibuang?”
Membuang barang itu tidak mesti karena masih terpakai atau tidak. Kalau kamu merasa sudah tidak “ingin” gunakan dan “ingin” mengganti dengan yang baru, maka barang tersebut bisa dibuang (dibuang bisa ke tempat sampah, atau didonasikan, atau dijual). Apa gunanya menyimpan barang yang kita sudah tidak inginkan?
Jadi prinsipnya upayakan “one (item) in, one (item) out” atau kalau terlalu sulit bisa juga “five in, three out.” : Harus ada barang yang keluar dari rumah.
Dengan demikian, laju pertambahan barang bisa lebih pelan. Kalau tidak ada yang “out,” sudah pastilah menumpuk.
2. Investasi pada barang basic, berkualitas baik, dan multifungsi
Godaan industri konsumsi memang luar biasa ya. Yang namanya trend fashion misalnya, bisa ganti setidaknya 2 kali dalam setahun. Baru pakai dress trendy 6 bulan, tiba-tiba rasanya jadi outdated ketika muncul koleksi baru. Terus jadi pengen beli lagi. Selain bikin boros, bikin numpuk juga.
“Tapi kan murah ini.”
Nah ini masalahnya. Barang murah itu justru sumber cluttering. Karena murah, kita merasa dapat insentif untuk terus berbelanja. Padahal ujung-ujungnya boros juga.
Karena itu, kita perlu punya mindset investasi. Sekarang saya lebih suka mengeluarkan uang lebih banyak untuk satu barang yang berkualitas baik dan basic, dan kalau perlu multifungsi. Barang seperti ini bikin puas karena berkualitas baik, bisa terpakai untuk berbagai macam keperluan. Kalau istilah ekonominya: maximum utility.
Saya ambil contoh high heels. Saya suka ke kantor pakai high heels. Supaya nyaman, saya beli yang berkualitas tinggi dengan harga tinggi. Karena harga tinggi, saya ingin juga bisa dipakai dengan setelan apapun, jadi saya pilih warna hitam dan desain polos (basic). Karena basic, saya juga jadi bisa gunakan selain untuk ke kantor, seperti untuk ke undangan / pesta (multifungsi). Karena berkualitas tinggi, sepatu ini terpakai hingga lebih dari 2 tahun, artinya selama kurun waktu tersebut saya tidak beli sepatu. Selain hemat, saya tidak menambah volume barang di rumah.
3. Kenangan itu disimpan di hati dan pikiran, bukan barang
Mungkin ini yang paling sulit, apalagi kalau melibatkan orang tersayang. Saya sering merasa sedih ketika melakukan sortir barang anak. Sepatu baru terpakai 6 bulan tiba-tiba sudah sempit, sehingga sudah tidak bisa dipakai. Seyogiyanya karena sudah tidak terpakai, ya dibuang atau didonasikan. Namun ada saja pikiran “Duh sayang, dia kan pakai sepatu ini waktu pertama kali bisa jalan,” atau “Ini kan kado dari mantan bos dulu.”
Yang begini nih jadi sumber cluttering. Bayangkan kalau semua barang yang kita miliki dikaitkan dengan kenangan masa lalu. Simpanlah kenangan di hati pikiran, bukan barang. Gimana caranya? Be present in every moment of your life. Ketika anak baru bisa jalan, ya nikmati momen tersebut, jangan malah inget sepatunya.
Jadi itulah kira-kira apa yang saya rasa sebagai mindset for decluttering. Yang terpenting adalah, decluttering harus menjadi sikap melalui membentuk pola pikir, bukan sekedar rutinitas, apalagi dianggap sebagai kewajiban.
Karena Decluttering adalah menghargai diri sendiri.
P.S.: kalau ada yang punya tambahan atau pandangan lain, feel free untuk tulis di kolom komentar. 😊
Saya ingin berbagi perjalanan saya menjalani #hidupminimalis sebagai gaya hidup. Harus saya akui, semakin bertambahnya umur dan tanggung jawab hidup, bertambah pula kebutuhan hidup. Namun kadang kebutuhan dan keinginan sulit dipisahkan. Batas kebutuhan dan keinginan pun menjadi kabur. Akhirnya we spent so much energy and time for things we don’t even need, but we just want it.
Salahkah memenuhi keinginan? Hidup minimalis adalah sikap kendali dalam memilah kebutuhan dan keinginan. Hidup minimalis bagi saya merupakan sikap untuk menghargai diri sendiri.
Hidup minimalis yang saya maksud dalam jurnal ini adalah tentang memilih, membeli, dan menyimpan barang. Intinya sih, pergeseran pola pikir konsumsi yang lebih berorientasi pada tujuan dasar: pemenuhan kebutuhan.
Sejalan bertambahnya usia dan tanggung jawab, saya merasa saya memiliki semakin banyak kebutuhan. Kebanyakan untuk menata hidup, seperti memiliki tempat tinggal yang layak beserta isinya, kebutuhan untuk memiliki pola hidup lebih sehat, kebutuhan untuk menghibur diri, kebutuhan menjaga hubungan keluarga, dan banyak lagi. Semuanya adalah sesuatu yang rasa butuhkan.
Di sisi lain, kebutuhan juga memiliki spektrum. Ada kebutuhan dengan prioritas tinggi, seperti makan 3 kali sehari. Ada juga kebutuhan dengan prioritas yang tidak terlalu tinggi, seperti makan enak. Sekali-sekali butuh lahh makan enak, tapi beneran butuh? Atau hanya keinginan untuk memuaskan lidah saja? Memuaskan lidah apakah kebutuhan layaknya perut kenyang?
Dalam ilmu ekonomi cetek sih semua diatur dalam hukum supply and demand. Di mana ada permintaan, di situ ada penawaran. Jadi pasar bereaksi atas apa yang kita butuhkan dan inginkan. Kebutuhan dan keinginan kita yang tentukan. Masalahnya, sekarang ini era di mana teorinya dibalik: kebutuhan dan keinginan ditentukan yang jualan.
Kok bisa? Karena judgement alias penilaian atas kebutuhan dan keinginan ditentukan olehbuaian trik marketing yang daya rayuannya luar biasa. Window shopping ke mall liat ada barang lagi diskon 70%, langsung dibeli padahal belum tentu butuh. Ujung-ujungnya tidak terpakai, jadi sampah, atau bahkan tertimbun memunuhi isi rumah.
Saya akan membagi topik hidup minimalis setidaknya dalam tiga kategori. Kategori ini bisa saja berkembang sesuai pemahaman saya dalam perjalanan saya menulis berbagi di sini.
1. Less buying
Intinya berusaha berhemat. Bukan pelit, bukan juga belanja serba murah(an). Saya percaya bahwa berbelanja dengan orientasi kebutuhan, dengan pilihan barang yang berkualitas (harga) tinggi, akan terasa lebih hemat kalau dilihat secara jangka panjang, karena kualitas yang baik memaksimalkan fungsi dan utilitas.
2. Less garbage
Setidaknya dalam benak saya saat ini ada 3 aspek untuk mengurangi sampah: mengurangi penggunan produk sekali pakai (produk plastik!), memilih produk dengan packaging minimal supaya tidak jadi sampah, dan memilih produk berkualitas supaya awet sehingga gak cepet jadi sampah.
3. Declutter
Pengalaman berpindah-pindah tempat tinggal 5 kali selama 7 tahun mengajarkan saya betapa repotnya cluttering alias nimbun barang. Tidak hanya merepotkan, tapi juga kebiasaan buruk. Menimbun barang tidak jarang jadi dalih untuk menyimpan kenangan. Padahal kenangan itu disimpan di hati dan pikiran, bukan barang. Declutter whenever you have the chance. Declutter juga merupakan upaya menghargai barang, dengan memiliki sedikit barang namun terpakai dan berguna.
Ketiga kategori tersebut kadang berkaitan erat, kadang juga tidak. Jadi bukan tidak mungkin apa yang akan saya tulis memiliki ide yang bertentangan. Saya hanya ingin berbagi perjalanan saya belajar menjadi lebih baik.
Mungkin saya juga akan punya kecenderungan pick and choose terhadap apa yang saya suka dan tidak suka, sehingga konsep minimalis saya seperti tidak konsisten. Sekali lagi, topik tulisan hidup minimalis ini bertujuan untuk berbagi perjalanan dalam bertransisi, bukan untuk menggurui apalagi menjadi sempurna.
Hidup minimalis merupakan upaya jangka panjang untuk berhemat secara ekonomi, memudahkan hidup dengan mengelola barang tepat guna, dan juga menjaga lingkungan melalui pengurangan konsumsi barang yang menghasilkan sampah.