Mumpung masih dalam suasana Hari Perempuan, sebagai perempuan saya mau ngoceh tentang perempuan ah.
Jadi perempuan itu…
Mumpung masih dalam suasana Hari Perempuan, sebagai perempuan saya mau ngoceh tentang perempuan ah.
Jadi perempuan itu…
Saya bukan makeup artist.
Lalu apa credential saya untuk menulis artikel ini?
Palugada.
Di suatu masa dalam karir (palugada) saya, saya dihadapkan pada satu situasi di mana terdapat 20 orang penari, usia anak dan remaja, tidak tahu cara merias dirinya sendiri, dan hanya bisa mengandalkan sumber daya manusia (Indonesia) yang sangat terbatas di luar negeri. Salah satu bentuk “bargain” saya dalam membujuk sumber daya manusia tersebut adalah dengan menjanjikan bahwa seluruh peralatan berias harus disediakan oleh saya (kami) sebagai pihak penyelenggara acara.
So I started off with a list. Sebagai perempuan banyak gaya hobi belanja makeup yang entah kapan mau dipake, saya gak bego-bego amat lah. Saya paham bahwa makeup itu kategorinya macam-macam, mulai dari foundation, hightlighter, lipstick, you name it. Saya juga tahu cara mengurutkannya.
Tapi yang paling penting, saya tahu betul bahwa makeup ada kelasnya: from e.l.f. to MAC, from Revlon to Tom Ford. Sebuah lipstick berwarna merah harganya bisa mulai dari $3 sampai $50, tergantung mereknya apa. Apakah harga menentukan kualitas? Bisa iya, bisa engga. It’s a matter of save or splurge!
Kalau untuk keperluan sendiri, saya suka dengan luxury brand, splurge, nurut lah sama beauty guru Youtuber favorit saya, Lisa Eldridge, yang punya pelanggan tetap artis A-list macam Kate Winslet. Siapa tahu kalau pakai makeup yang sama bisa secantik artis Hollywood.
Tapi sekarang tugas saya adalah menyediakan perlengkapan makeup untuk merias orang lain. Ini semacam saya harus membelanjakan uang untuk barang modal merias. Pertanyaannya menjadi: selain menyediakan semua kategori makeup yang dibutuhkan, makeup brand mana yang harus saya beli?
Berapa modal yang harus saya keluarkan untuk memiliki aset peralatan untuk merias orang lain?
Mari kita hitung biaya modal memulai karir sebagai makeup artist, berdasarkan pengalaman saya di atas.
1. Beyond single shade
Ada 20 penari, dengan warna kulit yang berbeda-beda. Artinya saya butuh menyediakan lebih dari satu shade foundation, concealer, blush on, dan lipstick juga.
2. Hygene and Care
Ada 20 penari, artinya ada 20 pasang bulu mata yang diberi mascara. Saya butuh 1 aplikator untuk satu orang untuk menjamin mascara tetap higenis. Tidak hanya mascara, tetapi juga 1 aplikator lipstick, aplikator foundation, eyeshadow, blush on, dan liquid liner per orang.
Di sampinh itu, tidak semua kulit wajah dalam kondisi siap diaplikasikan makeup. Artinya saya harus sediakan produk perawatan kulit. Minimal pelembab wajah dan pelembab bibir.
3. Save or splurge?
Ada ribuan brand di luar sana. Satu kategori produk bisa memiliki range harga hingga 10 kali lipat. Apa bedanya? Kualitas, katanya. Apakah yang murah memiliki kualitas lebih rendah? Tidak selalu. Produk mahal katanya terasa lebih nyaman. Yang saya tahu pasti, murah atau mahal, save or splurge, kesemuanya berfungsi. Itu pilihan.
So how much did I spend?
Untuk mengakomodir berbagai jenis warna kulit para penari yang bermacam-macam, saya tidak mau rugi bandar membeli berbotol-botol foundation ataupun berbagai warna blush on. Saya fokus mencari produk dalam format palette: satu produk yang memiliki berbagai macam opsi shade. Saya membeli foundation, concealer, blush on, eyeshadow, lipstick dalam bentuk palette. Harga sedikit lebih mahal daripada harga satuan, dengan kuantitas untuk masing-masing shade lebih sedikit. Tapi yang namanya makeup tidak bisa disimpan terlalu lama, jadi saya justru butuh produk yang cepat habis supaya tidak terbuang jika terlanjur kadaluarsa.
Untuk hygene dan care, saya fokuskan menyediakan produk untuk kulit sensitif. Tentunya jenis kuliat setiap penari berbeda, tapi pilihan produk kulit sensitif setidaknya dapat menghindarkan resiko reaksi kulit (apalagi in my case yang dirias adalah anak-anak dan remaja).
Terakhir, saya berbelanja di dua jenis toko kosmetik: brand kelas menengah dan brand kelas bawah. Mengapa? Saya menyediakan makeup bagi penari yang kebutuhannya hanya untuk tampil paling lama 10 menit di atas panggung, saya hanya butuh makeup yang berfungsi dalam waktu tersebut. Brand kelas menengah maupun bawah bisa memberikan jaminan makeup bertahan untuk kebutuhan tersebut.
Sebagian besar palette saya beli di toko kosmetik NYX (kelas menengah), sebagian lagi saya beli di dollar shop (kelas bawah), termasuk juga perlengkapannya di dollar shop. Untuk kesemuanya, saya menghabiskan $350. Lumayan mahal kan? Atau lumayan murah? You decide.
Kalau saya adalah seorang makeup artist yang mau mulai modal perlengkapan makeup dengan merek kelas atas, misalnya, MAC Cosmetics, saya menaksir bisa menghabiskan 3 kali lipat dari modal yang saya keluarkan di atas. Mahal? Murah? Tergantung sesering apa bisa dapet orderan dan seberapa pandai saya merias orang untuk percaya diri menetapkan tarif. Yang pasti harus dipikirkan berapa lama saya mengharapkan balik modal.
Balik modal. Break even. Itu kuncinya. Bagi yang ngerti dunia per makeup an, pasti gatel banget pengen beli merek makeup yang terbaik dengan harapan dapat hasil karya riasan terbaik. Tapi yang paling penting adalah jangan tekor hanya karena memilih produk yang tidak fit for purpose. Semuanya kembali kepada tujuan dan fungsi berias. Kalau dalam ilmu ekonomi namanya utilitas.
Kalau Lisa Eldridge merias Kate Winslet yang akan difoto oleh ribuan fotografer dan muncul di ribuan berita online dan cetak, masuk akal jika semua produk yang digunakan adalah produk kelas atas. Bayaran dan orderan pun tidak usah ditanya.
Kalau kamu, klien kamu siapa?
Sebagai lulusan Development Studies, sebetulnya saya agak miris bikin artikel bertema seputaran menjadi miskin. Miskin (poverty) itu lebih dari sekedar tidak punya uang, tetapi merupakan sebuah siklus yang melibatkan keterbatasan kesempatan (opportunity), akses (access), dan tertanam menjadi pola pikir (mindset) yang memengaruhi pilihan (choices).
Ah cukup sudah romantisme bikin essay kuliah. Tulisan saya ini tidak akan berkaitan dengan ilmu Development Studies dengan kemiskinan (comot teorinya dikit-dikit bolelah), tapi mau cerita tentang sesama kelas menengah. Saya dan populasi di sekitaran saya adalah kalangan menengah: belum kaya, tapi jauh lebih sejahtera dari miskin.
… belum kaya … lebih sejahtera …
Nahh, di sinilah persoalan yang mau saya tulis. Menjadi kelas menengah sebetulnya punya kesempatan, punya akses lebih baik, namun masih rentan untuk terjebak dalam mindset dan choices miskin (kembali lagi, karena belum kaya). Yang begini nih namanya kategori kelas menengah tapi sobat misqueen.
Terus apa masalahnya dari menjadi kelas menengah yang sobat misqueen? Here’s the theory: it’s expensive to be poor. Menjadi miskin itu tidak efisien. Pola pikir dan pilihan miskin menjadikan kita harus mengeluarkan resources (tenaga, uang) lebih besar untuk memperoleh kesempatan dan akses.
Kok bisa? Saya coba buktikan teori ini dalam poin-poin berikut ini, tentunya dengan konteks my fellow kelas menengah.
1. Demi belanja gadget baru atau liburan, rela memotong anggaran makan
Duh akhir bulan bokek nih jadi sehari-hari makan Indomie aja ampe gajian
Sering banget kan denger keluhan seperti ini? Kedengerannya lucu sih, sekaligus problematik. Jadi kalau anggaran kebutuhan pokok (makan) sampai harus diirit-irit, uangnya habis dipakai untuk apa saja?
Pernahkah berhitung, berapa sih rasio pengeluaran makan dengan total pengeluaran dalam setahun? My magic number is 20. Ya, 20 persen dari total pengeluaran (penjelasan lengkap tentang berbagai rasio pengeluaran / pendapatan, baca: Formula Dasar Mengelola Keuangan Rumah Tangga). Ada 80 persen lagi yang bisa dipakai untuk kebutuhan lain, maka sebetulnya 20 persen itu bukan angka yang besar.
Jadi, kalau kamu berpikir untuk berhemat dengan mengurangi anggaran makan, please think again, karena gak ngaruh! Mau dikurangin sampai setengah pun, cuma menyumbang penghematan 10 persen dari total pengeluaran. Lagian yang bener aja memangkas anggaran makanan sampai setengah. Makan adalah kebutuhan pokok dan merupakan sumber life support, jadi gak boleh dikorting. Pertama, hidupmu jadi gak mutu, kedua gak bisa bikin kamu punya extra uang.
Jadi kalau kamu masih berpikir bisa berhemat dari mengurangi anggaran makan, coba pikirkan lagi apakah kamu sudah layak untuk spending on luxuries. Makan aja susah.
Note: Kalau hasil hitunganmu pengeluaran makan > 20 persen, artinya kamu belum kaya, karena pengeluaran paling pokok yaitu urusan perut menghabiskan porsi yang besar. Kalau = atau < 20, selamat! Kamu sudah makmur.
2. Belanja macem-macem pakai kartu kredit, kemudian tiap bulan bayar tagihan minimum
Sebagai kelas menengah yang agak “mampu”, sudah pasti jadi incaran sales kartu kredit. Lagian, hari gini masak gak punyakartu kredit? Kartu kredit memberikan banyak kemudahan transaksi, ngasih reward point, dan tinggal gesek kalau sedang tidak bawa uang tunai. Saking wuenaknya gesek, gak kerasa sudah pada batas pemakaian per bulan.
Kalau saatnya ditagih, sudah pasti harus bayar. Nah ini bagian ini paling tidak enak. Selama belanja gak kebablasan sih, gak ada masalah, penghasilan setelah dikurangi tagihan pokok masih mencukupi untuk bayar tagihan kartu kredit, tinggal bayar penuh. Selesai. Tidak ada biaya tambahan.
Gimana kalau ternyata sisa penghasilan tidak mencukupi? Bisa saja bayar cicilan minimum, tapi artinya kamu harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar apa yang sudah kamu beli sebelumnya menggunakan kartu kredit, karena kamu harus bayar bunga. Bayangkan, betapa mahalnya hidup kamu kalau memilih jalan ini. Pilihan buruk jadi pilihan mahal, sobat misqueen harus menanggung biaya lebih besar.
Kalau mau tips lengkap memakai kartu kredit, baca tulisan saya tentang Mengambil Keuntungan Sebesar-Besarnya dari Kartu Kredit
3. Punya rekening tabungan premium, kemudian harus bayar biaya admin bank karena jumlah tabungan di bawah syarat minimal
Kelas menengah kece sudah pasti punya rekening tabungan. Tapi masak iya punya jenis tabungan biasa-biasa saja, fasilitas minim, jatah transaksi terbatas, gak kelas dong. Rekening tabungan kalau perlu yang batas transaksinya setinggi harga tas luxury brand, karena siapa tahu butuh beli LV tunai.
Rekening tabungan premium bisa memberikan kenikmatan seperti itu. Sebagai contoh, rekening tabungan saya dan suami ada di bank yang sama, tapi yang saya jenis silver, dia gold. Jelas beda fasilitasnya. Saya cuma bisa narik uang di ATM Rp5 juta per hari, dia bisa sampai Rp25 juta.
Tapi yang namanya rekening tabungan premium, bukan tanpa “harga” loh ya. Ada batas minimal jumlah tabungan yang disyaratkan untuk bebas biaya admin bulanan. Sehari saja dalam sebulan jumlah tabungan di bawah syarat, langsung deh kena biaya admin.
Artinya, kalau mau punya rekening tabungan premium, kamu harus punya banyak tabungan, harus tajir. Kalau uang cuman numpang lewat, selamat Anda adalah sobat misqueen yang harus ngebayarin bank tiap bulan untuk menikmati rekening tabungan premium.
4. Melihat expenses dan income bulanan, bukan tahunan
Kalau mau menghitung besaran kapasitas finansial, wajib hukumnya memahami expenses dan income dengan melihat agregat tahunan. Karena yang namanya pengeluaran (kadang penghasilan juga) tidak bisa disamarataksn setiap bulannya. Ada pengeluaran non rutin, penghasilan bonus, yang kesemuanya harus dicatat dan dipetakan untuk menyusun strategi tata kelolanya.
Kalau kamu masih bicara penghasilan bulan ini untuk pengeluaran bulan ini, dan bulan depan dipikir belakangan, apa bedanya pola pikir ini dengan rekan-rekan kita di kalangan bawah yang masih memikirkan besok makan apa?
So, are you one of the examples above?
PS: please comment kalau ada poin lain yang menurut kamu merupakan ciri kelas menengah sobat misqueen.
Ok. I am a HUGE fan of BSB on their very first album but DNA World Tour is my first ever BSB concert. Why?
Back in the days when they took off, Indonesia was no where on their list. They were not as popular as British boybands, but they did have loyal fans myself and few friends as well. And when they once (or twice) came to Jakarta, of course, a teenage girl (without privilege) like me couldn’t afford a penny to go to a international artist concert.
This post is a review to the recent BSB concert I went to in Ottawa as part of the RBC BluesFest on 14 July 2019 (but trust me, it’s a full concert with 33-song setlist). Before I begin, I have to reiterate that I have been a fan since the very beginning, so my opinion will be mostly relatable if you know BSB since their first existence as well.
Call me cheesy, but I literally cried as they showed up on stage, bringing such an epic opening with those uber-large screen and lighting effects, they sing non-hit singles “Everyone” (Black &Blue) and “I Want to be with You” (Backstreet Boys) in medley. Seeing them live was my dream since I was 10 years old. It’s really hard to contain my emotion when it finally came true. It’s one bucket list checked: it completes me. (I’m being such a drama but it’s true).
In a nutshell, the DNA World Tour is all about walking down the memory lane. If you are a fan in recent years, you might be disappointed as they only sang selective songs from the new album DNA, with many being only in parts (not the whole song). Even if you recognize many of their biggest hits, you might find some mute moments as they sang several songs which are never their hit singles which are never played on the radio, but for a loyal fan who owns ALL of their albums, it really brings up the memory of growing up with the BSB.
I will try to wrap up my opinions in points. I will try not to spoil but spoiler alert!!
1. Their biggest market is their loyal fans
As the biggest-selling boyband and being around for 26 years, they are aware they have strong and large loyal fanbase and they really try to entertain (=to cash in from – it just business, girl) these fan category. Most of their fans grew up together with them, who are currently at the edge of productive age. We, the fans, can afford to spend quite an amount of dollars compared to we were 20 years ago. So yes, demographically speaking, their biggest audience are their longtime fans.
2. DNA World Tour is not their fanciest concert, but it is made to be memorable
Don’t compare their stage performances with those years ago when they were literally “boys” who spent overbudget video clips and stage settings. As a music group hanging around in the showbiz industry, they know what they are after: walking down memory lane with the fans.
The crazy 33-song setlist is not merely a list of songs. The setlist tells story about their journey for the last 26 years, playing with our moods with a mixture of upbeat and slow beat songs, singing medley all of their acapella songs, and save the best most energic last 2 songs as the closing.
They don’t miss any, ANY – of their hits. They even and some upbeat non-hit songs such as “Get Another Boyfriend” “Don’t Want You Back” to add the mood!
Intermezzo: they sang two closing songs wearing Redblacks (Ottawa’s Football Team) shirt. They’re really serious when it comes to building connection.
3. I love the way they embrace the way they are
They’re definitely not flirting around to the ladies the way the used to be. I feel like they present themselves as good friends who have always been around for us. All of them have families, have been fathers for sometime, just like many of us who are now parents as well. That’s how they build connection with us, their longtime fans.
Every single member present themselves as an adult. They age the way we age, at least that’s how they try to show us. They look super comfortable singing and dancing on stage, even laugh at their cheesiness, laugh at being old and still dancing. Everyone was just being so cool.
4. They sing really well
I had a low expectation over their performance on stage, I doubted they can still nail high notes and “Larger than Life” dance move. I was wrong! They sang 33 songs non-stop, while still manage to entertain us with the original dance moves in the most amusing way. It might not look as energetic as it was 20 years ago, but I can tell they enjoyed doing it. In fact, the way they enjoyed it that makes the performance is so fun to watch.
5. They attract new, younger generation, fans
Even is the DNA concert is sort of a romanticizing their past success, the DNA album is no way an overnight project. I find some of the audinece are also younger generation, who genuinely enjoy their new songs. It sounds so BSB, with modern, today’s music style that it attracts new fans and reengage longtime fans like myself.
As a final note, I must say they do a really great job in establishing their current brand. As a long time fan, I find they are still the BSB with all the singing style and dance moves, but at the same time acknowledging themselves being grown ups, no longer the young, free-spirited boyband members. They touch our heart with their songs and the connection as “the good friends who grow up with you”, and that’s why the concert is truly a night to remember.
Ottawa, 15 July 2019
*late post
Waktu nyampe Kanada, saya gak pernah ngeh ada merek skincare bernama The Ordinary, sampai temen-temen di Indonesia banyak bikin review tentang brand ini. Ternyata ini brand dari Kanada!
Beberapa teman di Indonesia rekomendasi pakai produk perawatan dan The Ordinary untuk masalah jerawat / blemishes. Katanya bagus, harga juga lumayan. Begitu cek harga di toko online Deciem (parent company The Ordinary), OMG INI SIH HARGANYA BUKAN LUMAYAN TAPI MURAH BANGETTTT!
Rupanya di Kanada, harga setiap produk The Ordinary berada di kisaran $5 – $20, alias Rp50 – Rp200 ribu sajah! Dengan bandingan biaya hidup di Kanada yang tinggi kalau dibandingkan dengan Indonesia, ini sih recehan banget.
Awalnya hampir gak percaya, apa iya ada produk skincare di Kanada semurah ini, apalagi bandingannya skincare di Sephora yang harganya $$$ banget. Karena penasaran, saya iseng kepoin company profile dan juga founder-nya yang sudah Almarhum. Saya terkesan banget dengan filosofi dan nilai dibalik produk ini: intinya adalah jualan skincare itu ya jualan bahan kimia skincare, bukan model, bukan packaging, narasi gimmick and all of those marketing campaign yang muahal dan ujung-ujungnya konsumen yang harus tanggung. I’m sold!
Produk yang saya coba pertama kali adalah Niacinamide 10% + Zinc 1% yang klaimnya adalah untuk mengatasi blemishes. Dipakai 3 minggu berturut-turut pagi dan malem, alhamdulillah langsung habis, alhamdulillah kulit kinclongan, komedo berkurang banget. Long story short, sayapun langsung cobain berbagai produknya:
Cold-Pressed Virgin Marula Oil: cocok banget buat mengatasi kekeringan di musim dingin ektrim Ottawa
Alpha Arbutin 2% + HA: sukses menyamarkan bekas jerawat setelah sekitar 1 bulan pemakaian
Cold-Pressed Rosehip Seed Oil: seperti moisturizer tapi lebih ringan dari Marula Oil, cocok untuk musim yang lebih lembab. Tidak bikin kulit lembab, sejak pakai Rosehip Seed Oil ini, kulit saya jadi tidak sesensitif sebelumnya. Gak gampang memerah dan bahkan gak gampang jerswatan kalau kena matahari atau menjelng period!
Squalane Cleanser: cleanse like a champ! Bersih banget! Tapi produk yang satu ini terbilang tidak murah (walau tidak terlalu mahal juga kalau dibandingkan balm cleanser kebanyakan), karena untuk harga $7.9, cuma dapat 50 ml, yang ludes dalam satu bulan kalau dipakai setiap hari.
Multi Peptide Serum for Hair Density: ngurangin rambut rontok
Puas banget!!
Memang saya masih belum bisa lepas dari SK II Facial Treatment Essence yang harganya nauzubillah (dan tokcer berat), tapi setidaknya saya bisa hemat banyak dengan mengganti sebagian besar skincare routine saya dengan The Ordinary.
Fast forward 3 bulan kemudian, setelah mix and match berbagai produk The Ordinary, saya putuskan untuk jadi pelanggan setia. Tidak hanya karena harganya yang murah, tapi memang produknya berguna, berfungsi dengan baik. Saya jadi insaf menumpuk produk makeup dan mulai lebih nyaman tidak bermakeup karena kondisi kulit yang lebih baik. Intinya sih jadi lebih percaya diri.
Yang saya suka dari merek ini (dan mungkin juga yang membuat harganya murah), adalah konsep produk “modular” (kayak software aja ya modular, tapi founder nya memang eks computer engineer, so the idea matches). Modular dalam artian, satu produk serum hanya mengandung satu bahan utama untuk mengatasi satu masalah kulit tertentu. Misalnya serum Niacinamide 10% + Zinc 1%, serum ini hanya mengandung salah satu bahan untuk mengatasi blemishes. Niacinamide bukan satu-satunya bahan aktif untuk mengatasi blemishes / impurities, ada juga Salicylic Acid atau Benzoyl Peroxide, atau metode peeling seperi AHA. The Ordinary juga punya serum dengan ketiga bahan aktif tersebut, namun kita sebagai pelanggan diberikan pilihan. Saya sendiri tidak pernah cocok dengan Salicylic Acid dan Benzoyl Peroxide, dan saya takut pakai AHA, jadi dengan The Ordinary memberikan saya pilihan, yang strict hanya untuk masalah blemishes / impurities. Saya harus cari serum lain untuk mengatasi masalah kulit saya yang lain, yaitu bekas jerawat dan dehidrasi.
Nah, dari case saya kan kelihatan bahwa yang namanya masalah kulit itu oersonal dan variasinya banyak. Di sinilah kenapa saya suka konsep modular The Ordinary: saya diberikan pilihan berbagai “modul” yang tepat untuk kebutuhan spesifik saya. Kebanyakan produk di luar sana cenderung berusaha mengkombibasikan berbagai bahan bahkan gimmick dalam satu produk untuk justifikasi pasang harga tinggi. Selain kita jadi membayar mahal bahan aktif yang belum tentu sesuai dengan masalah kulit, manfaatnya juga tentu maksimal.
Tapi untuk memperoleh produk yang tepat dari The Ordinary, we have to educate ourselves first. Semua produknya hanya mencamtumkan nama bahan aktif, deskripsi singkat (satu kalimat), dan cara pakai. Kita harus cek websitenya untuk pelajari betul kegunaannya, bahkan cara mengkombinasikannya. Beberapa produk bahkan tidak boleh dikombinasikan, jadi kita harus betul-betul pelajari.
Tapi jangan patah semangat dulu. Websitenya informatif dan intuitif banget. Semua informasi tentang satu produk sangat lengkap, dan sangat mudah untuk bernavigasi dari satu halam ke halaman berikutnya. Jadi The Ordinary pengen konsumennya pintar dengan mengakses sendiri informasi tentang kegunaan produknya di website, dengan bahasa rada ilmiah. Ini jadi sumber cost-efficiency mereka juga daripada bikin narasi berbunga-bunga). Tidak hanya itu, di website kita juga bisa baca dan nulis review. Ini penting banget karena inilah marketing tools The Ordinary. Mereka mengandalkan word of mouth dan review dari konsumen-konsumen yang sudah “diedukasi” lewat websitenya, daripada bayar model mahal yang udah kincling dari sananya. Such a disruptive brilliant idea!
Cukup sekian keterangan dari saya. Kalau mau lihat gimana si founder berbagi value-nya yang sungguh menarik dan unik, lihat deh wawancaranya di sini. Dan kalau mau tahu kegunaan produknya, buka websitenya. Saya gak perlu jelasin apa kegunaan produk dan cara pakainya karena they said it better than anyone else!
PS: saya baru saja upload IG story untuk review singkat The Ordinary and why I love them, sambil mention IG mereka. Guess what? They responded ❤️