Bijak Menetapkan Limit Kartu Kredit!

Tahun 2019 baru berjalan 4 bulan, sudah 3 kali pula saya terima surat cinta dari bank. Isi surat intinya bilang kalau saya dapat kenaikan batas jumlah penggunaan kartu kredit.

Ini keenam kalinya saya dapat surat yang sama selama 2 tahun di Kanada. Selama ini surat macam itu gak pernah saya gubris: saya gak mau naikin batas penggunaan kartu kredit saya.

Tapi gimana perasaan saya?

Yang pasti 6 kali baca surat serupa, 6 kali saya senyum-senyum sendiri. Bangga banget coyyy!! Apalagi suratnya selalu dimulai dengan “As our valued costumer…”, saya berasa berharga dan dibutuhkan. Terlebih lagi, tawaran kenaikan batas penggunaan kartu kredit memberikan impresi bahwa saya dianggap “mampu” untuk memiliki penghasilan besar. Bisa banget dah ini bank!

Untuk keempat kalinya, saya gak gubris surat tersebut. Saya gak mau menaikkan batas pemakaian. Toh selama ini pemakaian saya rata-rata di bawah batas.

Ok cukup dulu riya dan sombongnya. Apakah saya berpikir tawaran kenaikan batas pemakaian kartu kredit itu benar-benar karena saya adalah “valued costumer”?

Bagi saya, “valued costumer” adalah istilah lain dari “source of money.”

This is what I think about it. Bank ingin menaikkan batas pemakaian kartu kredit saya karena mereka ingin saya gak mampu bayar!

Sekarang gini. Saya ini tipe nasabah yang sudah ngeruk keuntungan sebesar-besarnya dari fasilitas kartu kredit (baca: Mengambil Keuntungan Sebesar-Besarnya dari Kartu Kredit). Sementara bank kan cari untung dari bunga cicilan dan biaya tahunan (yang gak pernah saya lakukan dengan trik). Terus bank dapet untung dari mana dong.

Di satu sisi, bank aman punya nasabah kayak saya, yang disiplin gak pernah kredit macet, tapi sekaligus rugi karena gak dapet “persenan” dari saya.

Menawarkan penambahan batas pemakaian itu satu jalan untuk nyari untung dari saya. Kalau saya dapat kenaikan batas, saya jadi merasa punya kapasitas belanja lebih banyak dengan hutang, sehingga saya jadi belanja lebih banyak, sampai belanja saya melebihi penghasilan bulanan saya, sehingga ketika tagihan datang, saya gak bisa bayar semuanya sekaligus. Kalau saya gak bisa bayar sekaligus, artinya sebagian lagi saya bayar bulan berikutnya, plus dengan tagihan baru. Artinya, saya jadi harus bayar bunga.

This is exactly their plot!

Kalau siklusnya berulang, maka saya akan terus bayar cicilan + bunga untuk membayar tagihan yang tidak mampu saya bayar di bulan sebelumnya.

Mereka pun dapat untung.

Kesimpulannya, jangan kesengsem dulu kalau ditawari kenaikan batas pemakaian, karena bisa jadi bank sedang berusaha cari untung dengan bikin kamu susah.

Menghitung Biaya Kepemilikan Gadget

Minggu lalu ketika lagi jalan-jalan di mall, saya melewati gerai Apple (siapa sih yang gak tau Apple). Saya pun berhenti sejenak untuk melihat poster yang terpasang di depan pintu masuk. Poster tersebut memuat promosi Apple tentang “trade-ins”: tukar tambah produk Apple. Yang lebih menarik lagi, trade-ins tersebut tidak berlaku hanya untuk tukar tambah produk, tapi juga gift card bahkan uang tunai!

Gadget yang saya miliki semuanya memang merek Apple, bahkan smartphone yang saya pegang saat ini merupakan smartphone Apple kedua saya (yang pertama adalah iPhone 4S yang sudah tidak layak pakai tapi masih berfungsi jadi mainan anak saya). Beberapa gadget Apple saya sudah outdated alias jadul banget, jadi saya pikir boleh juga trade-ins dengan seri terbaru, atau paling tidak saya numpang “membuang” gadget Apple yang lama sambil ngarep dapat sedikit uang untuk modal beli baru.

Saya langsung semangat untuk mempelajari promo tersebut. Karena anak sudah ngantuk minta pulang, saya tidak berkesempatan untuk masuk gerai untuk bertanya. Tapi tidak masalah, saya bisa cek website.

Sampai di rumah saya langsung buka website Apple. Rupanya informasi sudah ada lengkap ada di sana, bahkan tersedia aplikasi kalkulator untuk menghitung nilai gadget saya!

Sayapun langsung coba ikuti petunjuk kalkulator tersebut, dengan memasukkan informasi tentang salah satu gadget tertua saya, yaitu Macbook Air edisi akhir 2010. Kemudian saya diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan berkisar tentang kondisi fisik dan performance gadget saya. Alhamdulillah MacBook Air saya masih dalam kondisi baik sehingga semua jawaban saya tidak mengindikasikan ada kerusakan.

Setelah menjawab semua pertanyaan, muncul nilai estimasi MacBook saya dalam nilai Canadian Dolar, yaitu $126 atau sekitar Rp1,4 juta.

Jujur agak nyesek. Saya beli laptop tersebut pada awal 2011 dengan harga Rp13,5 juta, hanya untuk mendapati nilainya sekarang tinggal 10% dari harga beli. Tapi ya laptop saya tersebut sangat awet, bertahan selama 8 tahun dan kondisinya masih baik!

Saya jadi berpikir, sebenarnya berapa sih biaya memiliki sebuah, bahkan beberapa, gadget? Hari gini siapa sih yang gak punya gadget. Generasi modern macam kita pasti setidaknya punya satu smartphone dan satu laptop. Kalau tajiran dikit, punya Tab dan smart watch juga untuk melengkapi gaya hidup hightech. Tapi pernahkah kita menghitung biaya memilikinya?

Kita hitung yuk. Long story short, saya iseng hitung semua harga gadget Apple saya melalui kalkulator tersebut. iPhone 4S yang saya beli pada pertengahan tahun 2013 dihargai $0 dari harga beli sekitar Rp7 juta, iPad mini 2 yang saya beli di awal tahun 2014 dihargai $0 (juga) dari harga beli sekitar Rp5 juta karena layarnya sudah pecah. iPhone 7 dibeli pada awal 2017 dihargai $226 dari harga retail mungkin sekitar $1,200.

Saya coba menghitung biaya kepemilikan per tahun.

Laptop MacBook Air:

Pemakaian 2011 – 2019: 8 tahun

Harga jual: $126 / Rp1,4 juta

Harga beli: Rp13,5 juta

Nilai kepemilikan per tahun:

(Rp13,5 juta – Rp1,4juta) / 8 tahun = Rp1,51 juta

Smartphone iPhone 4s

Pemakaian 2013 – 2017: 4 tahun

Harga jual: $0

Harga beli: Rp7 juta

Nilai kepemilikan per tahun:

(Rp7juta – Rp0) / 4 tahun = Rp1,71 juta

Tab iPad mini 2

Pemakaian 2014 – 2019: 5 tahun

Harga jual: $0

Harga beli: Rp5 juta

Nilai kepemilikan per tahun:

(Rp5juta – Rp0) / 5 tahun = Rp1 juta

Smartphone iPhone 7

Pemakaian 2017 – 2019: 2 tahun

Harga jual: $226

Harga beli: $1,200

Nilai kepemilikan per tahun:

($1,200 – Rp226) / 2 tahun = $487 atau sekitar Rp5,2 juta

Dari perhitungan di atas, rata-rata biaya kepemilikan per unit gadget adalah di kisaran Rp1,5 jutaan (kecuali iPhone 7 yang tembus Rp5 jutaan). Artinya, saya mengeluarkan biaya sekitar Rp1,5 juta per tahun untuk memiliki sebuah gadget. Semakin banyak gadget yang dimiliki, maka biaya yang dikeluarkan pun makin besar. Pada kasus saya, dengan rata-rata 3 gadget yang saya miliki bersamaan, saya menghabiskan Rp4,5 juta per tahunnya hanya untuk memiliki!

Tapi gadget itu kan untuk produktivitas dan utilitas.

Betul! Jika gadget digunakan untuk menunjang pekerjaan, memperluas jejaring, mengakses ilmu pengetahuan, dan kegiatan produktif lainnya, ada nilai dari mengeluarkan biaya Rp1,5 juta per tahun per unit.

Lha kalau punya 2? 3? 4? Ya silakan jumlahkan sendiri.

Bisya rata-rata Rp1,5 juta itu dalam kondisi kepemilikan gadget selama kurun waktu 4 tahun ke atas ya. Lha kalau sering gonta-ganti? Berdasarkan hasil hitung-hitungan di atas, satu gadget yaitu iPhone 7 memiliki usia paling muda (2 tahun) dan memiliki biaya kepemilikan tahunan yang paling tinggi (Rp 5,4 juta). Artinya, kalau saya jual sekarang, saya menanggung biaya kepemilikan hanya dengan faktor pembagi yang kecil, yaitu 2, sehingga menghasilkan nilai rupiah tahunan besar. Artinya, semakin usianya muda, nilai rata-rata tahunannya makin besar. Artinya lagi, semakin sering gonta-ganti gadget, biaya kepemilikan akan semakin tinggi.

Jadi apa yang bisa dipetik dari ilustrasi ini?

Memiliki gadget itu ada biayanya. Di sisi lain, memiliki gadget ada utilitas alias manfaatnya bagi produktivitas. Untuk itu, sebelum memutuskan untuk memiliki suatu gadget, setidaknya ada 3 hal yang harus dipertimbangkan, yaitu (1) berapa lama kamu berencana mau miliki gadget ini (2) berapa biaya tahunan yang mau ditanggung, mengingat nilainya untuk produktivitas kamu? (3) gadget apa saja yang dibutuhkan untuk menunjang produktivitas? Semoga dengan menjawab pertanyaan ini kamu bisa membuat keputusan yang paling optimal bagi rasio antara biaya dan manfaat kepemilikan sebuah gadget.

Mengambil Keuntungan Sebesar-Besarnya dari Kartu Kredit

Saya mau berbagi tentang cara mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari kartu kredit. Tips dan trik ini sudah saya lakukan sejak saya pertama kali punya kartu kredit tahun 2011, dan juga sudah dilakukan oleh orang tua saya sejak zaman jebot (dan sampai sekarang mereka hidup makmir gaess).

Saya mendengar banyak komentar pro dan kontra tentang menggunakan kartu kredit, berikut di antaranya:

“Kartu kredit itu bahaya, bisa bikin kita terjerat hutang denga bunga”

“Punya kartu kredit itu makin banyak makin bagus, bisa dapat semakin banyak peluang promo dan diskon”

Saya setuju dan tidak setuju. Kartu kredit bisa menguntungkan, bisa juga merugikan. Tapi kalau buat saya: kartu kredit itu bikin untung BANGET! Saya akan bahas kenapa dan gimana caranya untuk mengeruk keuntungan pakai kartu kredit sebesar-besarnya. Saya berasumsi kamu sudah mengetahui cara membuat kartu kredit jadi saya langsung masuk ke poin-poin tips dan trik yaaa.

1. Usahakan Tidak Bayar Annual Fee (Biaya Tahunan)

Ini saya bukannya ngajak sesat untuk nunggak ya, tapi maksud saya adalah cari kartu kredit yang tidak ada annual fee-nya.

Annual fee ini mungkin gak seberapa dibandingkan dengan biaya hidup kita selama setahun. Setahu saya, annual fee punya range beragam, mulai dari Rp. 50 ribu, sampai Rp. 1 juta, tergantung jenis dan batas pemakaian.

Mungkin kalau punya 1 kartu kredit, bayar annual fee gak terlalu terasa, tapi kalau punya 3 bahkan 5, 10.. Ya lumayan kan jadi terkena biaya memegang kartu kredit.

Gimana caranya supaya gak bayar annual fee kartu kredit? Cari, kalau gak ada, tanya. Pasti ada.

Kalau gak ada gimana? Jangan sedih, cari opsi annual fee yang bisa dibayar dengan poin kartu kredit. Saya akan bicara tentang poin di poin nomor 2.

2. Manfaatkan Poin Kartu Kredit

Fasilitas kartu kredit biasanya punya promo poin, yang mana tiap kita belanja dengan kartu kredit, kita akan peroleh poin sesuai dengan jumlah yang dibelanjakan. Misalnya, kartu kredit yang sekarang saya gunakan punya promo 3 poin untuk setiap 1 dolar yang saya belanjakan. Kalau poinnya sudah terkumpul banyak, bisa ditukar untuk berbagai macam fasilitas, seperti voucher belanja, barang elektronik, tiket pesawat, hotel, dan macem-macem.

Nahh, manfaatkanlah poin ini untuk dapat keuntungan sebesar-besarnya. Kalau harus bayar annual fee, make sure poin bisa dipakai untuk itu. Kalau masih ada sisa atau bebas annual fee, gunakan untuk apapun yang bermanfaat untuk kebutuhan.

Karena itu, memilih jenis promo kartu kredit juga harus disesuaikan dengan kebutuhan kita, yang akan saya jelaskan di poin nomor 3.

3. Pilih kartu kredit dengan promo yang sesuai dengan kebutuhan

Di poin 2 saya bicara poin, sekarang bagaimana cara memanfaatkannya.

Kartu kredit punya berbagai macam jenis promo, yang tujuannya untuk membidik pasar dengan gaya hidup tertentu. Ada jenis kartu kredit yang bisa kasih cashback belanja di supermarket, ini mungkin ditujukan bagi keluarga yang doyan belanja groceries dalam jumlah besar. Ada juga yang bisa kasih diskon makan di restoran / cafe buat yang hobi nongkrong. Ada juga yang bisa kasih poin khusus untuk fasilitas travelling.

Saya sendiri sekarang pakai kartu kredit yang kasih fasilitas tukar double poin untuk merchant travelling, seperti hotel, tiket pesawat, sewa mobil, plus ada asuransi perjalanan domestik (Kanada) dan Amerika Serikat. Ini saya pilih karena intensitas travelling saya dalam setahun lumayan (termasuk business travelling). Fasilitas kartu kredit ini kerasa banget manfaatnya. Dengan pola spending saya dalam setahun, jumlah poin yang saya peroleh bisa ditukar untuk menginap di hotel bintang 4 selama 3-4 hari! Ini judulnya “kartu kredit bikin hemat” gaess. Catatan sombong: saya juga dikasih fasilitas tidak bayar annual fee selamanya ✌🏻

4. Kartu kredit untuk menunda pembayaran, bukan uang tambahan

Ide bahwa kartu kredit adalah uang tambahan adalah salah kaprah kebanyakan orang yang akhirnya terjerat bunga kartu kredit.

Kartu kredit itu tidak akan berbunga selama kita bayar tepat waktu dan tidak dicicil. Otherwise, kena bunga kartu kredit itu bunga-nya flat: persentase bunga dihitung dari jumlah tagihan, bukan jumlah yang sudah kamu cicil sebelumnya. Bayangin, kalau bunga kartu kredit per tagihan adalah 3%, dan kamu punya tagihan Rp. 1,000,000, maka bunga di bulan pertama kalau tidak bayar penuh:

Rp. 1,000,000 x 3% = Rp. 30.000

Terus kamu bayar Rp. 200,000, maka bulan berikutnya:

Rp. 1,000,000 x 3% = Rp. 30.000

Bukan

(Rp. 1,000,000 – Rp. 200,000) x 3% = Rp. 24,000

Gak peduli kamu bayar cicilan berapa, pokoknya selama belum lunas kamu akan dikenakan bunga dari tagihan awal, yaitu Rp. 30,000. Ngehek kan?

Jadi kalau menggunakan kartu kredit, pastikan saat tagihan dibayar semua supaya tidak kena bunga.

Terus ngapain pakai kartu kredit kalau ujung-ujungnya dibayar penuh?

Buat saya, kartu kredit membantu menunda pembayaran dan mengelola cashflow. Dengan kartu kredit, saya bisa belanja tanpa harus mengeluarkan uang, dan membayarkannya sekaligus saat tagihan datang (dan baru gajian). Manfaatnya, saya jadi pegang tunai dalam jumlah besar yang memberikan saya rasa aman. Cashflow saya dapat diukur dan diatur melalui pembayaran seluruh pengeluaran saya melalui satu pintu tagihan kartu kredit (dan dapat poin gaess).

Akhir kata, saya cuma mau ulang lagi, bahwa kartu kredit itu memberikan banyak keuntungan bagi penggunanya selama kita menguasai trik untuk “mengeksploitasi”nya. Tidak ada yang dirugikan.

Satu pesan saya: gunakan kartu kredit secara bijak, dan jangan pernah kredit macet.

Catatan: kalau ada yang punya trik selain yang disebut di atas, feel free untuk berbagi di komentar. Thanks!

Membuat Rencana Anggaran Travelling

Tahun baru 2019 ini saya mengambil cuti tahunan, dan mumpung cuti ya jalan-jalan dong. Saya dan keluarga memutuskan untuk liburan ke Quebec City, ibu kota Provinsi Quebec, Kanada, yang jaraknya sekitar 450 km dari Ottawa, ditempuh dalam waktu 4.5 jam via tol (kira-kira naik mobil dari Bandung ke Semarang pake trans Jawa lah yaa)

Nah, saya jadi pengen berbagi cara membuat rencana anggaran travelling (sambil bikin alasan untuk pamer foto-foto liburan lol). Bagi saya, membuat rencana anggaran untuk travelling itu fardhu ain: wajib hukumnya. Karena rencana anggaran menentukan travelling macam apa yang bisa saya lakukan: tempat bisa dikunjungi, makanan yang dicoba, aktivitas yang bisa dilakukan. The whole travelling experience essentially starts with proper budgeting. Uang adalah segalanya gaessss.

Jadi saya akan bagi beberapa langkah dalam merencenakan keuangan travelling.

  • 1. Tetapkan budget travelling, untuk 1 tahun
  • Bagi saya biaya travelling itu masuk dalam kategori pengeluaran non rutin (baca tentang kategori pengeluaran: Formula Dasar Mengelola Keuangan Rumah Tangga). Saat paling pas menentukan rencana anggaran travelling tak lain dan tak bukan adalah ya awal tahun seperti ini. Berapa kali rencana melakukan travelling dalam setahun? Berapa uang dialokasikan untuk travelling dalam setahun? Ke mana saja tujuan travelling?

    Saya ilustrasikan di sini. Misalkan saya punya rencana anggaran pengeluaran non rutin selama setahun adalah Rp. 100 juta. Nah dari jumlah ini, berapa banyak yang akan dipakai untuk travelling? Mau seluruhnya juga bisa (so lupakan belanja baju, sepatu, hape baru, dan pengeluaran non rutin lainnya). Kalau pengalaman saya sih, travelling mengambil 25% dari total pengeluaran non-rutin saya. Jadi kalau saya punya anggaran non-rutin Rp. 100 juta, saya akan alokasikan Rp. 25 juta untuk dipakai travelling.

    Rp. 25 juta bisa dipakai untuk travelling berapa kali, dan ke mana saja? Domestik? Internasional? Nah bisa ini ditentukan tergantung besaran tiap komponen pengeluaran travelling yang akan saya jelaskan di poin nomor 2.

    2. Tetapkan komponen pengeluaran travelling

    Saat membuat rencana anggaran travelling, tetapkan pengeluaran per komponen untuk mengetahui berapa anggaran yang dibutuhkan.

    • Transport

    Semua biaya transport harus dihitung. In my case ke Quebec City, saya naik mobil, jadi biaya yang dikeluarkan adalah bensin, biaya cuci mobil, oli, dan perlengkapan untuk menangkal keganasan salju Kanada.

    Komponen transportasi ini harus dihitung semua, misal kalau naik pesawat, ingat bahwa tiket pesawat bukan satu-satunya biaya transportasi: ada ongkos taksi ke bandara, extra luggage, transport domestik (taksi, Uber, Grab, sewa mobil beserta bensin dan asuransi). Jadi jangan dipikir dapet tiket murah meriah, biaya transportasinya segitu doang. No way.

    • Penginapan
    Fairmont Le Château Frontenac
    Fairmont Le Château Frontenac, hotel yang merupakan situs bersejarah di Kanada, harga menginapnya juga fantastis (saya gak nginep di sini btw)

    Biaya penginapan ini cukup straightforward. Penginapan ya bisa hotel, air bnb, pun kalaupun nebeng siapkan biaya terima kasih seperti traktir makan, bantuin bebersih, atau bayar ekstra listrik / air.

    • Makan
    Poutine at Le Chic Shack, Quebec City
    Menu favorit ala Québécois adalah Poutine, yaitu kentang goreng disiram saus gravy dan cheese curd (Le Chic Shack, Quebec)

    Perjalanan saya ke Quebec City kali ini adalah 4 hari 3 malam, maka saya langsung tetapkan 4 hari x 3 kali makan x biaya sekali makan $(n) = 12 kali makan x $(n). Saya alokasikan jumlah makan maksimal (terlepas nyatanya hari pertama saya berangkat dari setelah makan siang sehingga sebetulnya di hari pertama saya makan di perjalanan hanya sekali yaitu makan malam). Ini saya lakukan untuk memberikan anggaran “ekstra” untuk jajan.

    • Miscellaneous
    Hôtel de Glace, Quebec
    Hotel pop-up saat musim dingin, untuk berkunjung dikenai biaya mulai dari C$20 (Hôtel de Glace, Quebec)

    Komponen biaya miscellaneous ini macem-macem. Ada belanja oleh-oleh, admission ticket ke museum, wahana, dll. Walaupun ini masuk dalam kategori lain-lain, ini penting banget jangan sampai tidak dianggarkan karena seringkali memakan biaya yang cukup tinggi.

    3. Tambahkan 10% ekstra

    Quartier Petit Champlain
    Quartier Petit Champlain, tempat belanja dengan vibe walking street ala Eropa

    Setelah menentukan anggaran tiap komponen travelling, jumlahkan dan tambahkan biaya 10% dari jumlah total anggaran tersebut. Ini penting banget untuk mengantisipasi kalau ada komponen yang “lupa” dimasukkan ke dalam anggaran. Walaupun udah bikin perencanaan sematangnya, kita juga harus merencanakan untuk lupa, coz we’re all just human, right?

    Setelah semua komponen untuk semua rencana travelling dalam setahun dijumlahkan dan ditambah ekstra 10%, berapa totalnya? Apakah melebihi anggaran yang sudah ditetapkan sesuai poin 1 di atas? Kalau sesuai, good job! Kalau jebol, artinya harus dikurangi sampai mencukupi. Kenapa? Karena…

    4. Jangan pernah ngutang untuk travelling!

    Travelling itu menyenangkan, refreshing katanya. Bisa membuat pikiran terbuka, dan in return meningkatkan produktivitas. Tapi apa gunanya travelling kalau kamu bokek, bahkan terlilit hutang. Ingat gaes, hutang itu membuat hati tidak tenang, tidur tidak nyenyak. Yang ada travelling malah menjadi beban hidup.

    Dan yang terpenting, ingat bahwa travelling adalah kebutuhan non rutin. Masih ada banyak hal yang penting untuk kamu penuhi dengan uang sebelum bisa travelling, seperti paying your monthly bills atau bahkan menjaga kesehatan dengan makan 3 kali sehari. Taking care of your body is way more important than merely pleasing instagram story.

    5. Habiskan budgetnya

    Kalau sudah punya rencana anggaran yang sesuai dengan alokasi pengeluaran sesuai poin 1, pastikan uang tersebut dihabiskan untuk travelling!

    Menghabiskan anggaran travelling itu penting banget supaya kamu bisa menikmati travelling itu sendiri. Jadi saat menjalaninya gak itung-itungan, karena semua proses hitung-menghitung sudah dilakukan sebelum berangkat. Nikmati semua uang yang sudah kamu anggarkan.

    Semoga tulisan OOT dari pengalaman liburan ini bisa kasih inspirasi dalam merencanakan travelling yang lebih memuaskan. Puas karena bisa pegang kendali antara kebutuhan mengunjungi tempat-tempat yang menyenangkan dengan kemampuan finansial aka duit.

    Semoga terhibur dengan foto-foto hasil jepretan saya selama jalan-jalan di Quebec City.

    Selamat merencanakan liburan!

    Formula Dasar Mengelola Keuangan Rumah Tangga

    Memasuki tahun baru 2019, dan untuk membuka topik Personal Finance, saya mau bahas tentang formula dasar mengelola keuangan.

    Nothing fancy, saya ingin berbagi pengalaman mengelola keuangan agak serius selama 8 tahun terakhir. Serius karena saya catat semua pengeluaran dengan rapih, and it’s safe to say that 8 annual personal financial records have statistical and analytical value (duileh).

    Tentang Pengeluaran

    Hal pertama yang mau saya bahas adalah: expenses. Lupakan dulu punya gaji/pemasukan berapa, memahami expenses itu penting banget, karena ini justru sumber masalah utama keuangan (admit it, we all have issues with the way we spend :p), baru kemudian bahas penghasilan.

    1. Pahami struktur pengeluaran tahunan

    Kalau mau lihat sebetapa boros dan hemat kita, lihat pengeluaran dalam setahun, bukan bulanan, apalagi harian. Pengeluaran itu ada 2 jenis: rutin dan non-rutin.

    • Rutin: pengeluaran yang udah pasti ada setiap bulannya dan kurleb per bulan sama, seperti groceries, transport, tagihan listrik, air, pulsa, dan jajan-jajan (nongkrong di resto, kafe)
    • Non-Rutin: pengeluaran every once in a while, seperti beli baju, beli makeup, nyalon (ini relatif sih, bisa juga jd rutin kalo emang wajib tiap bulan), bayar pajak mobil, servis mobil, PBB, ngecat rumah, travelling)

    Setelah menentukan pengeluaran rutin dan non-rutin, pahami ratio-nya. Berapa ratio yang ideal antara pengeluaran rutin dan non-rutin? Berdasarkan catatan saya, pengeluaran non-rutin yang cucok mencakup max 30% persen dari seluruh pengeluaran. Kalau jebol, you’d better have good reason for that :p .

    What does it entail? Dari struktur pengeluaran, kamu harus bisa tentukan ratio pengeluaran rutin dan non-rutin, and my ideal number is 70 : 30.

    Trus gimana cara menentukannya dan nilai uangnya? Gampang! Buat daftar seluruh perkiraan pengeluaran rutin (pasti udah tahu apa aja dan berapa angkanya), jumlahkan, terus dikali 12. That would be your 70, trus tinggal dihitung aja yang 30 nya. I give you the simple math:

    Misal: setelah pengeluaran rutin dijumlah adalah 100 juta, cara menentukan anggaran untuk pengeluaran non-rutin:

    100 juta x 100/70 x 30/100 = 42.9 juta maksimal

    Jadi pengeluaran dalam setahun: 100 + 42.9 juta = 142.9 juta

    Penetapan ratio ini bisa disesuaikan tergantung penghasilan. Yang pasti, persetase pengeluaran rutin boleh > 70%, namun pengeluaran non-rutin kalau < 30% lebih baik.

    2. Pahami struktur pengeluaran non-rutin

    Karena pengeluaran non-rutin ini sudah dipatok batas maksimalnya, kita dalami lagi struktur pengeluaran non-rutin, yaitu essensial dan non-essensial.

    Pengeluaran essensial terdiri dari yang dibutuhkan dan wajib, misalnya beli baju ketika baju udah belel, sepatu olahraga ketika udah rusak, bayar pajak mobil, PBB, servis barang yang rusak.

    Non-essensial terdiri dari beli blush on warna peach shimmer karena baru punya yang warna pink, beli sepatu warna merah karena cuma punya yang hitam, dan apapun yang sifatnya keinginan.

    Terus berapa ratio yang ideal untuk membagi yang essensial dan non-essensial? Jawabannya: tidak ada. Tidak ada karena pengeluaran non-rutin tidak sepenunhnya bisa diprediksi. Siapa yang bisa prediksi sepatu tiba-tiba jebol, atau ada saudara yang butuh bantuan. Artinya, sebisa mungkin kendalikan pengeluaran non-essensial.

    Gak menjawab ya? Well, karena mengendalikan keinginan itu adalah attitude, bukan science :p.

    3. Strategi berhemat

    Dengan berpegang bahwa pengeluaran rutin dan non-rutin adalah 70 : 30, di mana yang dipatok batas maksimalnya adalah yang non-rutin, kalau ingin berhemat, berhematlah di komponen non-rutin. Kenapa? Bayangkan, non-rutin tidak terjadi tiap bulan tapi menguasai 1/3 sumber pengeluaran!

    Di dalam pengeluaran rutin, semuanya adalah essensial, namun di dalam pengeluaran non-rutin, ada aspek essensial dan non-essensial. Jadi, ya kendalikan dulu pengeluiaran non-rutin.

    Jadi gimana cara berhemat dari pengeluaran non-rutin?

    Buat skala prioritas. Alokasikan untuk pengeluaran wajib yang sudah pasti ketahuan akan ada dan bisa diperkirakan jumlahnya, seperti pajak mobil, PBB, travelling (kalau memang direncanakan di tahun tersebut), bayar iuran kartu kredit. Lalu yang sifatnya insidentil, seperti servis mobil / rumah. Apakah rumah bener-bener sudah harus dicat, atau kursi mobil yang udah butek harus diganti, atau bisa ditunda sampai tahun depan? Kalau bisa, ya anggarkan di tahun berikutnya sebagai pengeluaran wajib. Terakhir yang sifatnya impulsif: apakah yang masih ada sisa setelah dialokasikan untuk yang wajib dan insidentil?

    “Duh tapi tahun ini aku butuh beli tas LV yang mahal banget, ada gak pengeluaran rutin yang bisa dikorbanin juga?”

    Jawabannya: Bisa saja. Di atas saya sebut bahwa jajan-jajan masuk dalam pengeluaran rutin. Yes, you deserve to get leisure every month, but it’s you who decide how much. In my case sih idealnya 10- 20% dari seluruh pengeluaran rutin, tergantung selera (dan penghasilan tentunya). Kalau kamu merasa punya kebutuhan untuk berimpulsif ria, ya jajan-jajan cukup dialokasikan 10% aja untuk kompensasi.

    Tapiiii, jangan pernah berpikir untuk berhemat di makan! Makan sehari 3 kali dengan gizi seimbang itu fardhu ain: wajib hukumnya. Makan adalah taking care of your health, so please jangan dikorting-korting! Sebetulnya kamu akan terkejut kalau melihat datanya bahwa komponen makan itu sangat kecil di antara pengeluaran lainnya, jadi berhemat di komponen ini percuma karena GAK NGARUH, namun too many people focus on saving on this component.

    Misalnya nih, sekali makan ongkosnya 15 ribu, artinya makan 3 kali sehari 45 ribu. Terus kamu pengen hemat dengan makan sehari 2 kali ajah, jadi potong 15 ribu pengeluaran makan sehari. Sebulan kamu hemat 15 ribu x 30 = 450 ribu. Setahun x 12 bulan = 5,4 juta sajahh!! Buat nalangin beli iphone baru juga gak bisa gaes, tapi kamu ngorbanin kesehatan, no way!

    5,4 juta bisa kamu dapatkan dari penghematan di pengeluaran non-rutin, misal dengan menahan diri gak liburan Singapura pas long weekend dan menggantinya dengan liburan ke Bandung (kalo kamu tinggal di Jakarta)

    Hubungan dengan penghasilan

    Udah cerita panjang lebar tentang pengeluaran, belum ngomongin penghasilan nih. Gimana mau nentuin bisa mengeluarkan berapa kalau gak tau penghasilannya berapa.

    Gak juga. Makanya di atas kita selalu bicara ratio dan persentasi kan, supaya bisa disesuaikan berapapun penghasilannya.

    Intinya gini, semakin besar penghasilan, ratio pengeluaran rutin akan cenderung semakin mengecil dengan pengeluaran non-rutin. Kenapa? Semakin meningkatnya kesejahteraan (=penghasilan) pasti kita pengen dong menikmati belanja keinginan. Keinginan adanya kan di kategori non-rutin, artinya pengeluaran non-rutin akan meningkat. Tapi yang penting jaga rationya: 70 : 30 is a fair ratio untuk kelas menengah, pengeluaran rutin bisa aja naik, tapi non-rutin jangan deh. Tapi kalau kamu masuk dalam kategori horang kaya, abaikan semua tulisan ini :p

    Berapa penghasilan yang bisa dikeluarkan, berapa yang harus ditabung? Saya sih gak mau mendikte berapa banyak, it’s personal. Yang penting, pengeluaran gak boleh lebih besar dari penghasilan, alias gak boleh ngutang untuk pengeluaran konsumsi.

    Kalau ngutang beli rumah gimana? Boleh, tapi ceritanya bisa satu artikel lagi buat topik yang ini 🙂

    Yang pasti, usahakan bisa nabung, batas ideal saya sih minimal 10% dari penghasilan dalam setahun. Lebih dari itu lebih baik, kalau gak mampu 10%, berapapun deh, yang penting hidup harus punya cadangan :).

    Misal, pasti udah tau kan gaji per bulan berapa dan dapet berapa kali dalam setahun. Jumlahkan kemudian kali 10% atau berapapun yang kamu mau, baru sisanya kamu sebar ke perkiraan pengeluaran rutin dan non-rutin, dan bisa dibagi HABIS tanpa merasa bersalah.

    Terus gimana kalau penghasilannya gak rutin kayak pengusaha, pedagang, atau PNS yang ngarep uang jaldis dan honor ? Saya gak punya jawaban buat pengusaha dan pedagang (gak punya pengalaman, walao kata emak yang pedagang, bisa diprediksi rata-rata tahunannya). Tapi buat PNS yang punya aspek jaldis dan honor, hitung penghasilan yang sudah pasti ajah, yaitu gaji dan tunjangan, dalam memproyeksikan pengeluaran tahunan. Anggapkan uang jaldis dan honor itu durian runtuh, atau bahkan pos tabungan.

    Mengelola penghasilan: investasi

    Buat saya mengelola pengeluaran adalah yang paling penting dalam pengelolaan keuangan secara keseluruhan. You have to understand your spending in order to manage your finance (sebetulnya ini teori kelas menengah, kalau kamu horang kaya / konglomerat udah pasti teori ini kamu ketawain).

    Sementara mengelola penghasilan adalah a way forward: setelah kamu mampu memahami dan mengelola pengeluaran dengan benar dan bijak (inget ya it’s an attitude).

    Buat salary men and women (populasi terbesar) penghasilan itu udah saklek, udah pasti, gaji tiap bulan sama,.

    Semua orang bilang kita harus investasi, but it’s easier said than done kan. Gimana caranya hayo? Gimana cara mulainya?

    Terus terang saya belum bisa bicara banyak tentang topik mengelola penghasilan: I still on my journey to find out the best practice of managing my asset portofolio. Tapi setidaknya saya mau berbagi cara termudah untuk memulai (disclaimer: berhubung mudah, jangan harap return-nya bisa fantastis ya, namanya juga mulai)

    Setelah bisa nabung, tabungannya diapain? Langkah pertama, lindungi nilainya. Katanya Indonesia mengalami inflasi 10 persen tiap tahun, artinya duit 100 ribu tahun ini nilainya lebih kecil dari nilai tahun lalu. Nominal boleh sama, nilai takkan pernah sama (duileh). Lindungi nilainya, setidaknya supaya tabunganmu gak aus dimakan zaman. Misal, beli emas jelas gak akan kasih keuntungan, tapi bisa menjaga nilai uangmu supaya gak erosi kayak batu yang disamber ombak. Gak ngapai-ngapain tau-tau kena korting, apa salahkuu? Dan bisa dicairkan jadi duit kapanpun butuh. Atau deposito, cuman bisa ngasih 8 persen setahun sih, tapi daripada di rekening bank coba, dapet 3 persen buat bayar biaya admin juga wkwkwkwkwk.

    Kalo mau yg lebih canggih, beli properti produktif, bukan sekedar properti/tanah yg setelah dibeli merem berharap harganya naik terus: itu bokis! Properti/tanah itu gak liquid, gak bisa disulap jd duit ketika lagi butuh, jadi harus yang produktif, yang bisa kasih cashflow tiap bulan. Mau yg lebih canggih lagi? Main di pasar uang. Kalau ngerti yang beginian (saya enggak) bisa ngasih penghasilan besar, lebih dari sekedar lindung nilai (dan ngasih penghasilan tambahan) tapi ada resiko dan tentunya harus do your market research, yang tentunya mengambil waktu produktif kamu juga (jam kerja tambahan).

    Intinya sih 2 hal, mengelola penghasilan itu yang penting lindung nilai, kemudian bisa diekspansi jadi keuntungan / tambahan penghasilan. But the more you want to gain, the more you have to work on it. Gak ada tuh ceritanya ngelola aset sambil merem tiba-tiba bikin kaya. Semua pake usaha, warisan aja ngelolanya butuh usaha (ngerawat banyak harta emangnya gampang?).

    Kesimpulan

    Understanding your finance takes 4 steps. Pertama adalah memahami dulu struktur pengeluaran, kemudian memahami kebutuhan dan keinginan, sesuaikan pengeluaran dengan penghasilan, dan terakhir going forward dengan mengelola aset ketika tiga langkah utama sudah bisa dijalani. Membuat proyeksi keuangan tahunan sangat penting, yang di dalamnya melibatkan kendali. Kendali lewat disiplin mencatat, mengawasi, dan kendalikan keinginan.

    Mengelola keuangan itu sikap, bukan hanya ilmu pengetahuan.